Minggu, 22 September 2013

Ini 'Cuman' Gunung Geulis




geulis001


Kita berdiri di satu titik,
Padahal di langit timur, barat, utara dan selatan
Ada titik-titik lainnya.
Bagaimana kita bisa melihat titik-titik itu,
Kalau kita tidak pergi untuk melihatnya?

GOL A GONG


“Oy, ke Cereme yuk!”
Seperti tahun lalu, beberapa orang yang tidak merayakan lebaran atau pulang kampung menyibukkan diri memanfaatkan minggu libur lebaran ini. Ajakan yang ditawarkan kali ini mendaki Gunung Cereme. Ah, nu atos-atos oge ajakan main sering kali hanya jadi sebuah wacana. Menguap begitu saja. Tapi sepertinya tidak untuk yang satu ini.
Wong yang tiba-tiba datang membawa carrier cukup jadi pemicu dua orang lainnya Polin dan Roni. Benar saja, mereka langsung melakukan briefing kecil di ruang belakang, merangkum list belanjaan yang dibutuhkan untuk kebutuhan logistic, dan merencanakan hal-hal lainnya dengan semangat.
Malamnya Kang Bai yang baru bangun dari tidur panjangnya juga bersiap untuk bergabung ke dalam tim yang mereka sebut “Cereme Rame”. Bagaimana dengan saya? Wong dan Kang Bai terus membujuk saya untuk bergabung juga. Sebetulnya bukan membujuk sih, tapi manas-manasin. Soalnya saya tidak mungkin ikut, karena terlalu mepet dengan hari lebaran.
“Gunung Geulis mah gitu-gitu aja. Gak asik.”
“Udah ke Cereme ajalah! Kita nongkrong di air terjun Palutungan. Bisa sambil ‘bakar-bakar’, abis itu berenang di sungainya wih, mantap!” Ledekan Kang Bai memang sempat membuat saya goyah. Apalagi mereka menjanjikan akan pulang hari Rabu siang –Ah, mana? Saya nulis catper ini hari Rabu jam 12 siang. Sampai sekarang mereka masih belum kirim kabar kok! Berarti kan mereka masih di atas karena tidak ada sinyal. Beruntung saya tidak turut serta dalam pendakian itu dan memilih bertahan di sini, di sekretariat. Nanti sore saya sudah harus mudik.
Walaupun begitu saya tidak mau kalah, saya punya rencana pelampiasan untuk itu, saya putuskan untuk mendaki Gunung Geulis saja hari pada Rabu ini,  menyaksikan sunrise dari puncaknya.
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya tim Cereme Rame pun berangkat seusai Subuh, hari Selasa. Ya, walaupun bisa dikatakan mendadak, safety procedure harus tetap dinomorsatukan. Membawa perlengkapan navigasi dan mengisi data subjek sudah menjadi standar operasional kami.

***

Sementara mereka pergi, di sekretariat hanya tinggal saya, Kang Day dan Bang Viko. Dari siang sampai sore itu tiba-tiba batin saya terus meragukan diri saya untuk berangkat ke Gunung Geulis. Karena apa? Tidak ada kompanyon. Ya, hanya saya sendiri. Apalagi rencananya saya ingin berangkat jam tiga sebelum Subuh.
“Emang saya berani sendirian?” Walaupun Gunung Geulis tidak jauh dari sekretariat, tapi saya sendiri belum pernah ke sana. Tingginya hanya sekitar 1200 mdpl. dan tergolong mudah untuk didaki. Tetapi, bagaimanapun dan apa pun gunungnya jangan pernah meremehkan alam, sehingga sampai kita mengabaikan safety procedure. Itulah pelajaran yang saya dapat di Palawa.
Sampai sore saya masih mengumpulkan keberanian untuk berangkat Subuh nanti. Bina jasmani sore itu mungkin bisa membantu.
Tidak terlalu banyak bekal yang saya bawa, sebungkus mie instan rasa rendang mungkin bisa membantu saya berimaji sedang berada di atas Gunung Marapi di Andalas bukan di Gunung Geulis. Lima batang choki-choki untuk snack selama pendakian dan beberapa liter air bersih. Tidak lupa sebungkus sigaret filter. Cukup!
Sebelum tidur pun, jujur, saya masih meragukan rencana saya ini. Bagaimana kalau nanti nyasar? Jam tiga sampai jam enam pagi kan masih gelap? Tidak takut hantu? Apa lebih baik saya mengurungkan niat saya ini saja? Tapi malu juga kalau sampai tidak jadi, agar terlihat alami semoga besok saya bangun kesiangan sajalah, walaupun sudah meminta bantuan pada Imam yang kebetulan datang malam itu untuk membangunkan. Lagi pula tidak terlalu merugi kok karena tidak banyak saya belanja kebutuhan logistik.

***
“Fiq, udah jam empat nih. Jadi gak berangkat? Kesiangan nanti.” Imam membangunkan saya.
Walaupun sudah bangun, tapi tubuh saya enggan bergerak. Mencoba untuk tidur lagi, tapi tidak bisa. Sepertinya saya memang harus berangkat.
Akhirnya saya teguhkan hati untuk tetap berangkat. Ganti baju lapangan, cek kembali alat yang akan dibawa. Sudah jam 4:20. Tapi mana sempat mengejar matahari terbit? Kata Imam sih satu jam juga sampai kok ke puncak, hanya akan sedikit terhambat karena akan banyak ilalang setinggi orang dewasa menghalangi jalan setapak.
Saya buru-buru memakai sepatu besar kebanggaan saya dan lari bersama Gandhi yang mengantar saya sampai gerbang, berharap ada ojek yang bisa mengantarkan saya, tapi sayang tidak ada, mungkin mereka sedang nikmat-nikmatnya kuleum selepas sahur. Menunggu angkot juga percuma, lebih baik jalan saja sampai Jatiroke.
Beruntung sehari sebelumnya saya sudah survey lokasi titik start, jadi tidak perlu bertanya-tanya lagi sama orang lain. Karena kemungkinan di jam itu jarang ada orang yang bisa ditanya. Akhirnya, di depan gang Cisaladah ada Mamang Ojek yang menawarkan jasanya untuk mengantar.
“Antar ke SD Jatiroke ya Mang!”
“Bade ka tonggoh Jang?”
Muhun, Mang!”
“Jangan lupa berdoa di makam Jang. Biar selamet.”
“…………..”
Saya jadi teringat. Konon katanya makam yang terdapat di puncaknya adalah makam seorang wanita bernama Putri Geulis, dinamakan seperti itu karena parasnya yang sangat cantik, paling cantik pada masanya. Kalau kita melihat dari kota Jatinangor, ada pohon besar yang terlihat cukup jelas. Di situlah makam itu terletak, dinaungi dua pohon besar.
Ada juga yang mengatakan bahwa Putri Geulis adalah istri dari seorang Prabu atau raja penguasa Jatinangor. Suatu saat, sang putri meninggal dunia karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Sang Prabu sangat terpukul atas kepergian istri tercintanya. Karena cintanya yang begitu besar, ia ingin sang istri dimakamkan di tempat tertinggi di Jatinangor, yaitu di puncak gunung. Kemudian Sang Prabu pun mengabadikan nama istrinya sebagai nama gunung tersebut.
Ternyata banyak juga orang memiliki keyakinan berlebih dan meminta jodoh dengan merapal entah mantra ataupun doa-doa di makam tersebut. Mungkin kamu mau mencobanya? Ya, tidak bisa kita pungkiri setiap gunung memiliki mitos-mitosnya sendiri. Terkadang mitos dapat menjadi daya tarik tempat itu, sebagian justru menjadi daya tolak. Biarlah mitos itu terus hidup, karena pada akhirnya bagaimana kita menyikapi hal tersebut dengan arif dan bijaksana.
 ***
Sampai juga saya di titik start.
Diam sejenak.
Berfikir.
Buat apa saya melakukan ini? Mendaki Gunung, masuk ke dalam hutan dan sendirian? Gelap? Kalau ada hantu? Aduh. Masih ada kesempatan untuk balik kanan kok, Fiq! Uh, hati dagdigdug tak karuan!
Mungkin kalau didengarkan dengan lebih seksama atau ada orang yang meraba dada saya saat itu tentu akan terkejut karena mendapati gemuruh petir di hari hujan berbadai di dalamnya. Kalau membayangkan masa lalu sih, boro-boro berani keluar waktu langit gelap, tidur sendiri saja saya tidak berani!
Ini hanya Gunung Geulis kok!
Sebenarnya bukan masalah gunungnya, tapi lebih karena saya sendirian! Selama ini kan kalau masuk hutan selalu bareng dengan saudara-saudara saya. Ah, sudahlah. Saya harus tetap mecoba. Minimal saya dapat mengukur sudah sejauh mana kemampuan saya melawan rasa takut macam ini yang dari dulu menjadi kelemahan saya.
Akhirnya saya melangkahkan kaki dan membentuk jejak pertama saya. Di bagian awal saya melewati kebun-kebun warga. Jauh juga jarak yang harus ditempuh. Meski merasa sudah sangat jauh namun areal kebun warga belum juga habis saya lewati sedari tadi. Sesekali kepala saya refleks melakukan gerakan menengok ke kanan dan ke kiri. Saat menoleh ke belakang pandangan saya menumbuk satu areal kompleks pemukiman warga dan kampus Unpad penuh pendar cahaya. Ini pengalaman saya melihat wajah kota Jatinangor dari atas ketinggian. Makin lama makin mengecil. Saya semakin jauh.
Ini dia akhir kebun warga. Saya menghadapi persimpangan. Ke mana ini saya harus melangkah? Ke kiri? Kanan? Atau lurus? Teringat pesan Kang Day, kalau sudah masuk jalan kebun yang mengarah ke kiri, ikuti saja, tidak jauh ada jalan ke kanan. Itu jalan masuk hutannya. Oke, saya mencoba jalan terus ke kiri tapi sudah jauh saya jalan, kok semakin menurun? Saya jadi ragu. Saya kembali ke persimpangan, tidak perlu mencoba ke kanan pasti itu salah, karena menjauh dari puncak. Istirahat sejenak, meneguk air minum. Ambil kompas. Awalnya kecewa juga melihat kompas yang saya bawa: jarumnya tidak stabil dan bagai takbisa berhenti bergoyang-goyang. Ini disebut kompas dangdut. Ah rupanya semalam saya salah mengambil kompas dari dalam gudang, merek lokal kadang tidak akurat.
Masih bersama kompas yang jarumnya labil, saya masih terus berusaha mencari petunjuk yang dapat mengarahkan saya keluar dari keadaan tidak menentu. Saya coba menggunakan kompas digital yang ada di handphone. Setahu saya arah puncak itu ke timur –hasil survey kemarin. Kebetulan arah timur yang ditunjukan kompas digital adalah lurus dari persimpangan itu.
Mulailah saya masuk ke dalam hutan. Semakin dalam. Semakin lebat. Langit yang masih gelap membuat pohon hanya terlihat sebagai bayangan hitam. Saya usahakan tidak banyak istirahat. Langkah kaki dibuat stabil, tidak terlalu cepat ataupun lambat. Sesekali saya masih bisa menikmati pemandangan lampu kota Jatinangor, bahkan sebagian Bandung, yang masih menyala. Perasaan takut dan khawatir karena berjalan sendirian pun mulai hilang. Saya merasa mantap untuk terus melangkah. Perdu hutan mulai menghalangi jalan setapak. Saya sudah tidak mempedulikan matahari yang terbit di timur karena sepertinya tidak akan terkejar.
Di depan sudah terlihat banyak tumbuhan ilalang yang tinggi-tinggi. Oh, mungkin ini tandanya sebentar lagi sampai ke puncak. Saya percepat langkah saya, membiarkan daun-daun ilalang yang tajam menghempas muka saya. Yang paling mengganggu adalah menghindar dari jaring laba-laba yang terdapat di sepanjang jalan. Sebenarnya tidak terlalu masalah kalau laba-labanya berukuran kecil, tapi sepanjang jalan tadi ukuran laba-laba yang hadir dalam pendakian ini sebesar jari-jari tangan saya.
Langit mulai sedikit terang. Meski sudah merasa semakin tinggi namun suara ayam berkokok dari rumah di bawah sana pun masih terdengar. Jalurnya cukup curam. Ternyata dari awal saya mendaki melewati lembahan, saya baru menyadari setelah langit sedikit terang. Di ujung hutan ini saya menemukan lagi persimpangan. Diam sejenak. Ke arah mana saya harus berjalan?
Saya coba lurus ke arah timur, di mana itu adalah arah puncak. Yang buat saya ragu jalur ini terlalu rapat dengan ilalang yang tinggi-tinggi. Saya menghabiskan banyak waktu menebas ilalang dan perdu yang menghalangi jalur. Beberapa kali saya juga harus merangkak. Sudah jam 05:40. Sudah satu jam lebih saya berjalan, tapi puncak belum terlihat juga.
“Jang!”
Dari persimpangan di bawah ada yang berusaha memanggil saya. Ternyata warga yang sedang mencari haur di sekitar sini.
“Jangan lewat situ, jang. Ke kiri aja, jalannya lebih bagus. Nanti kamu ikuti jalan ini ketemu persimpangan lagi, lalu belok kanan. Kalau kamu lewat atas sini, gampang nyasar. Solanya sudah rapet banget ilalangnya.”
Wah, perasaan saya terasa lega. Bukan karena petunjuk yang diberikan bapak itu, tapi karena ternyata saya tidak sendiri di gunung, sepagi ini.
“Terimakasih, Pak!”

***
Dipikir memang jalan ini yang dikasih unjuk oleh bapak tadi lebih enak dan besar, tapi tidak lupa saya selalu memasang string tag untuk menandai  jalan mulai dari titik start, dan saya juga membawa peluit kok.
Lebay, ini kan cuman Gunung Geulis!
Ya, string tag akan memudahkan saya jika saya sampai tersesat. Apalagi baru pertama kali naik gunung ini, sendirian pula! Tetap safety cuy!
Jalan yang diberi unjuk ini, mengarah ke arah utara Gunung Geulis. Jalannya datar, melipir sisi kiri Gunung Geulis kalau dilihat dari Unpad. Melewati lembahan dan jalur sungai. Duduk sebentar di batu besar sungai mati. Ah, damainya. Memperhatikan pohon-pohon yang tinggi di depan saya. Masih sedikit gelap di sini, mungkin kalau di sekretariat sudah terang. Soalnya saya masih membutuhkan penerangan untuk terus berjalan.
“Ini dia persimpangan yang dibilang bapak tadi.”
Saya ikuti petunjuknya untuk belok ke kanan. Terus berjalan, tidak sampai setengah jam saya sampai di bukaan, lumayan lapang. Sepertinya cocok untuk istirahat, apalagi perut sudah mulai lapar. Oke, keluarkan semua bekal. Gelar ponco untuk alas duduk. Arahkan pandangan ke barat di mana pemandangan kota yang mengecil dari atas sini. Sekarang sudah jam setengah tujuh pagi tapi kabut tipis masih menyelimuti kota Sumedang. Kalau dilihat ke arah timur. Syukur saya masih bisa menikmati sisa-sisa matahari terbit. Di arah utara ada puncakan Bukit Jarian di sebelah kiri Gunung Geulis. Kalian pasti tahulah, kalau pernah ke Jatinangor. Kalau disejajarkan posisi saya sekarang tingginya sejajar dengan puncakan tersebut. Sebentar lagi sampai ke puncak Geulis.

Bukit Jarian dari Punggung Gunung Geulis
Bukit Jarian dari Punggung Gunung Geulis

Saya benar-benar sangat menikmati situasi seperti ini. Pagi hari, memasak di atas gunung sambil suara burung-burung bernyanyi. Jangkrik yang juga terus berbunyi. Angin pelan yang menghempas badan dan sinar mentari pagi yang menghangatkan dan menjadi sempurna dengan batang sigaret filter yang kuisap. Ah, walaupun ini cuma di Gunung Geulis. Saya benar-benar menikmatinya. Sungguh.
Segala kekhawatiran yang beranak-pinak sebelum berangkat kini hilang menguap seiring cahaya surya yang bersinar.
Tanpa sadar, mungkin karena terlalu menikmati. Sudah jam setengah delapan lebih. Sekitar satu jam saya nongkrong di sini! Padahal puncak sudah terlihat, sebentar lagi. Tapi saya putuskan untuk kembali pulang, turun, tidak melanjutkan pendakian. Saya cukupkan sampai di sini saja. Mungkin lain kali berkunjung lagi, mungkin juga bersama saudara-saudara saya.
Saya merencanakan untuk turun malalui jalur ini, artinya tidak kembali ke jalur awal ketika naik. Saya kembali masuk ke dalam hutan. Sempat khawatir juga kalau jalur yang saya lewati ini semakin tidak jelas. Karena samping kanan dan kiri saya vegetasinya tidak terlalu rapat. Terlihat seperti banyak jalur lain di mana-mana. Kalau tidak teliti, berbahaya. Tidak lupa saya memasang string line sepanjang jalan turun. Oh… oh, tidak lama dari itu saya melihat di depan saya ada percabangan, ternyata ini persimpangan yang pertama saya temui di ujung kebun warga. Wah, benar kata Kang Day. Maksud ke arah kiri yang dikatakannya kemarin itu ternyata jalur ini! Tapi memang jalan akan semakin menurun kalau lewat jalur ini. Tapi tidak lama akan kembali menanjak dan akan ada percabangan lagi di depan. Ambil ke arah kanan, jangan lurus!
Pagi semakin panas, padahal baru jam setengah sembilan. Jatinangor kalau sudah musim kering, pagi sampai siang itu terik mataharinya galak, tapi kalau malam suhu bisa  sampai 18 derajat celcius –ekstrim.
***
Akhirnya saya sampai ke sekretariat dengan selamat. Terlihat Kang Day dan Imam yang masih tertidur.
Ya, ya, ya, ini cuman Gunung Geulis.
Tidak sampai ke puncak pula!
Mungkin bagi kalian semua ini tidak istimewa, tapi tidak bagi saya. Sekurang-kurangnya, perjalanan kali ini membuat saya dapat mengukur sampai mana keberanian saya. Berjalan sendirian di hutan dengan langit yang masih gelap. Mencoba menghadapi rasa takut. Ah, saya juga berani bertaruh di antara kalian masih sedikit yang berani melakukan hal seperti yang saya lakukan. Ya, selagi bisa kita harus mencoba untuk sering melihat, mendengar dan mengalami hal-hal baru. Tidak usah yang jauh-jauh dulu. Di lingkungan sendiri saja dulu.
Syafiq Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar