Senin, 21 November 2016

Poem: I Am Drowning

The shore
bring me back
the thought of your hair,

The wind
bring me back
the thought of your voice,

The reef
bring me back
the thought of your courage,

The ocean
bring me back
the thought of your eyes,

The fish within
bring me back
the thought of myself.

I am drowning.

(Jatinangor, 2016)

Selasa, 15 November 2016

Puisi: Api Kepada Dingin

(Taken by Wong)


Tidakkah kau lihat,

Lidah api tidak pernah
membunuh Dingin.

Tidakkah kau mafhum,

Lidah api tidak pernah
membunuh Dingin

Mereka bercumbu
menjadi satu

menjadi Puisi

(Jatinangor, 2016)

Minggu, 13 November 2016

Puisi: Ujian Sarjana

Guru..

Kau tak akan bertanya padaku,
Tentang apa sebab aku
hidup

Kau tak akan bertanya padaku,
Tentang apa sebab aku
bahagia

Kau tak akan bertanya padaku,
Tentang apa sebab aku
mencinta

Guru..

Bukankah kau hanya bertanya,
Apa sebab bilangan
linear itu

Bukankah kau hanya bertanya,
Apa sebab digunakan
metoda itu

Bukankah kau hanya bertanya,
Tentang apa salah dan
benar itu

Lalu,
kau akan berkata padaku,
selamat atas kebebasanmu!

Guru..

Sudikah kau menjawab,
Tentang apa kebebasan itu

Apakah itu berarti

menjadi
hamba  bangsawan?

menjadi
mesin siang malam?


(Jatinangor, 2016)

Cerpen: Laure dan Buah Pohon Kersen


Google Image


1.
Sepanjang ingatanku, tidak ada satu pun malam yang aku lalui tanpa terbangun dengan tiba-tiba seperti ini. Bangun dengan keringat yang membasahi rambut dan bajuku, dan napas yang terburu-buru. Aku terduduk di atas kain yang menjadi alas tidurku. Mendengar suara hening malam yang dipecahkan nyanyian bising sekelompok nyamuk. Aku berusaha mengintip ke luar jendela kecil, meraba langit, sampai kutemukan apa yang aku cari: bintang acrux di arah selatan. Aku selalu terpana dengan getaran cahayanya, yang begitu indah dan penuh gairah, seakan baru kulihat pertama kali. Ia bergerak, ia bernapas, dan ia selalu mengajakku berbicara tentang masa lalu, tentang kampung halamanku di Chiapas. Tempat di mana ia menyembunyikan seorang gadis cantik, Laure, anakku yang satu.

2.
Laure dan aku hidup dalam dunia kami sendiri, di satu desa di Chiapas yang terpencil, yang di sebelah timurnya dibatasi oleh perkebunan kopi yang sangat luas, tempatku bekerja, milik seorang tuan tanah bernama Czar, seorang bangsa Slavia. Di sebelah selatannya adalah dataran tinggi Tzotzil yang terlihat begitu enigmatik. Sedangkan di sebelah utara desa kami dibatasi ngarai Sumidero yang lebar nan memesona, dihiasi tebing-tebing hijau tinggi di kedua sisi. Pernah pada satu waktu, kami meminjam biduk milik Giquel tetangga kami, yang kami pakai untuk mengarungi ngarai sampai ke hulu, di mana Laure dan aku menemukan air terjun setinggi baobab afrika. Gemuruh suaranya terdengar dari kejauhan, menyelinap di antara pepohonan, jauh ke dalam hutan. Gemuruh itulah makna semangat yang tak pernah padam, tak kenal lelah. Hingga kini, suara itu masih terdengar dari dalam hatiku, bersamaku di manapun aku berada.

3.
Begitu juga ingatanku tentang Laure. Aku tak pernah memiliki potret wajahnya, tapi aku ingat betul bagaimana rambutnya yang tebal dan bergelombang sampai dada, wajahnya yang masih begitu penuh, begitu belia, dan mata birunya yang aku kenang sebagai warna samudera hindia. dan memancarkan begitu banyak cahaya dari kulit kuningnya. Ia juga gadis yang sopan dan sederhana, ia begitu cerdas, pandai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, keinginannya untuk mengetahui segala hal telah melebihi siapapun. Semua orang di desa terkagum melihat pengetahuan Laure yang tidak dimiliki anak-anak lain seusianya. Semua ingatan itu membuat air mataku berlinang, aku menangis sekencang-kencengnya, mengetahui kenyataan bahwa aku tidak mungkin dapat melihat Laure dan kampung halamanku lagi.

4.
"Mengapa menangis? Sepertinya kau bermimpi buruk lagi?". Mendadak pertanyaan yang pernah simpati itu muncul dari pria bernama Josue dari ruangan sebelahku, membuncah lamunanku. Aku sedang tidak ingin jawabanku nanti berlanjut pada percakapan yang tak berkesudahan, aku juga tidak mau lamunanku tentang Laure, bintang-bintang dan kampung halamanku harus tertunda karena percakapan yang sia-sia, yang tidak akan menyelesaikan apa-apa. Maka aku memilih untuk diam. Lagi pula dalam kondisiku yang sekarang, sangat sulit membedakan apakah aku baru saja terbangun dari mimpi burukku atau apakah aku memang sedang hidup di dalamnya? Akan ada satu waktu di mana aku melihat imajinasi menjadi lebih realistik, atau realitas menjadi sangat imajinatif ketika kau tidak dapat menerimanya, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Di saat itulah yang dapat kau lakukan hanyalah berharap untuk secepatnya terbangun darinya.

5.
Aku pun kembali berbaring di atas kainku, berpura-pura memejamkan mataku, kembali merasakan dingin malam. Di sini, di tempatku sekarang, siang hari bisa menjadi begitu panas, tetapi jika malam datang, panas akan pergi jauh sampai ke atmosfer meninggalkan daratan kedinginan, hingga menggigil. Selimut pemberian Maja yang ia beli ketika berlibur di Pescadero, memiliki warna langit fajar dan matahari. Terlihat hangat, tapi tak pernah benar-benar bisa menghangatkanku. Tapi, aku tak pernah menyia-nyiakannya, apalagi di malam terakhirku ini. Matahari ini, mungkin adalah matahari terakhir yang bisa kulihat sebelum hari pembebasanku. Aku menyebutnya begitu, karena aku tak akan pernah mati. Aku akan bebas menuju taman ketiadaan. Taman di mana hanya bunga-bunga keberanian yang tumbuh bermekaran. Taman di mana burung Quetzal tak pernah lagi sendiri dan bernyanyi tentang kesedihan. Taman di mana tidak ada lagi salah dan benar. Laure, anakku, akankah suatu hari kita akan bertemu di taman itu?



Bersambung...