Jumat, 05 Juni 2015

Oeang Adalah Koentji (?)

"anak sekolah"
(Sumber Gambar: trisetyobudi.blogspot.com)

Jatinangor yang katanya merupakan kawasan pendidikan, adalah kecamatan yang tidak terlalu besar dan terdapat lima universitas populer di Indonesia. Aku pikir kurang tepat kalau label kawasan pendidikan ini hanya atas dasar alasan itu saja atau karena sebagian besar populasi penduduknya didominasi oleh mahasiswa, tapi justru mahasiswa atau yang terdidik itu merupakan para pendatang saja. Miris melihat pribumi jatinangor sendiri masih banyak yang belum menyelesaikan pendidikannya, bahkan tamat sekolah dasar pun tidak.

Fakta menunjukan masih terdapat anak usia sekolah di jatinangor yang tidak bersekolah. Kita menyebut anak-anak seperti ini ‘anak putus sekolah’. Fenomena putus sekolah diakibatkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah ekonomi. Untuk mengantispasi hal ini pemerintah telah banyak mencanangkan program yang dapat membantu anak untuk terus bersekolah seperti BOS, BSM dan yang terbaru adalah kartu sakti: Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Bantuan yang telah disebutkan di atas merupakan bentuk lain dari bantuan materi atau uang dengan sasaran keluarga atau anak usia sekolah yang terkendala biaya agar dapet bersekolah dengan gratis. Tapi fakta lain di lapangan ternyata tidak selamanya anak putus sekolah adalah anak yang tidak mampu membiayai sekolahnya. Ada beberapa anak yang ditemukan justru tidak mau sekolah karena faktor motivasi dan psikologis. Seperti si A yang tidak mau bersekolah lagi karena malu sudah telat satu tahun tidak bersekolah, seperti si B yang tidak mau bersekolah lagi karena takut dijahili oleh teman-temannya.

Apakah pemerintah selalu menganggap bantuan yang berorientasikan uang dan barang akan selalu menjadi kunci dalam menanggulangi anak putus sekolah? Apakah pernah pemerintah meletakan faktor motivasi dan psikologi tersebut pada proposi yang penting, sepenting bantuan uang dan barang? Apakah karena faktor tersebut dikategorikan sebagai kehendak pribadi individu sehingga tidak menjadi perhatian pemerintah?

Kamis, 04 Juni 2015

Dilema Kawasan Karst

kiri ke kanan: Budi Brahmantyo, Dr. Ko, Pindi Setiawan
(Doc: Ikhsan Rizky - Palawa Unpad)

Sore hari tadi sarasehan geologi menjadi lebih menarik karena kedatangan Dr. Ko yang merupakan seorang ahli gua dan juga seorang dermatologist. Beliau dikenal karena konsistensinya sebagai pemerhati kawasan karst –ekso dan endo–, tidak hanya diakui secara nasional namun juga dalam lingkup internasional. Walaupun sudah tidak muda lagi, beliau tetap semangat menularkan ilmunya dengan mempresentasikan betapa pentingnya kawasan karst bagi kehidupan.

Bila kita berbicara semen tidak akan terlepas dari batuan gamping dan karst, karena kandungan yang terdapat pada batuan gamping merupakan satu-satunya sumber bahan baku dalam pembuatan semen. Tidak heran jika banyak pabrik semen menjadi pragmatis –menghalalkan segala cara– untuk terus mengeruk kawasan karst. Tak jarang upaya pabrik-pabrik semen tersebut menyulut konflik dengan warga setempat. Kawasan karst Rembang adalah salah satu contohnya.

Bagi konservasionis seperti Dr. Ko, ekosistem yang terdapat di kawasan karst menjadi pertimbangan prinsipil untuk dilindungi. Perlu diketahui ekosistem adalah suatu keadaan khusus dimana komunitas dari pelbagai macam organisme hidup dan saling berinteraksi (hubungan timbal balik). Dr. Ko menyebutkan satu contoh organisme yang memiliki peran penting di kawasan karst, kelelawar.

Kelelawar adalah mamalia yang mampu terbang dan hidup menggantung di atap-atap gua. Salah satu kebiasaan makanan kelelawar adalah buah-buahan. Karena kebiasaannya inilah, kelelawar menjadi agen pembawa biji atau benih yang nanti akan tumbuh menjadi tumbuhan baru. Secara tak langsung, kelelawar turut melestarikan jenis-jenis tumbuhan yang berada di habitatnya, dalam hal ini adalah kawasan karst.

Selain itu, walaupun terlihat gersang dan tandus, kawasan karst memiliki daya serap air yang baik. Air hujan yang jatuh akan terserap dan larut ke dalam permukaan sehingga membentuk rekahan, yang nantinya akan membentuk aliran air. Semakin lama aliran air ini akan membesar sehingga membentuk gua. Proses ini tidaklah sebentar, membutuhkan waktu jutaan tahun untuk membentuk sebuah gua. Selain menyimpan keindahan di dalam gelapnya, gua adalah sumber mata air bagi masyarakat. Mengenai hal ini, Dr. Ko menyatakan 25% sumber air dunia adalah air karst.

Berbeda dengan Dr. Ko, Pindi Setiawan yang merupakan alumnus FSRD ITB melihat keunikan karst dari keilmuan lain, yaitu seni (gambar cadas). Gambar cadas merupakan peninggalan manusia ribuan tahun lalu biasanya terdapat pada dinding gua dan tebing. Gambar ini digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi atau mengekspresikan perihal tertentu. Ini menjadi penting karena dapat merepresentasikan peradaban leluhur atau nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, khususnya di Indonesia.

Apa yang diapaparkan di atas hanyalah sebagain kecil dari sekian banyak alasan untuk melindungi kawasan karst. Dr. Ko mengatakan bahwa masalah di kawasan karst tidak hanya sebatas urusan geologi semata. Banyak aspek dan disiplin ilmu (ex: hidrologi, antropologi, biologi) yang perlu dikaji secara terpadu dan holistik dalam mengeksplorasi potensi kawasan karst, yang nantinya akan dijadikan acuan apakah kawasan tersebut layak untuk ditambang atau tidak. Hal ini terkait dengan AMDAL yang sering dimanipulasi oleh para pemodal untuk mengeksploitasi suatu kawasan. Begitu juga dengan pengetahuan mengenai karst yang masih terbatas menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh para pemodal ini untuk mengelabui, entah masyarakat itu sendiri atau bahkan pemerintah.

***

Budi Brahmantyo seorang geologis, memaparkan pendapatnya tentang dilema kawasan karst. Beliau mengakui bahwa memang belum ada solusi dalam permasalahan kawasan karst ini. Kandungan kalsium karbonat yang merupakan bahan baku pembuatan semen hanya dapat diperoleh dari batuan gamping, belum ada alternatif lain. Sementara, keberadaan kawasan karst juga penting sebagai pemberi kehidupan. Karena begitu dilematisnya permasalahan ini, beliau hanya mampu mengembalikannya kepada hati nurani kita: apakah perlakuan kita terhadap alam sudah tepat?

Ada satu kuotasi dari Dr. Ko yang menarik, beliau mengatakan “I live in the forest and the forest live in me”. Kalau boleh saya tafsirkan, kalimat tersebut menunjukan bahwa dengan segala kerendahan hati, manusia adalah bagian dari alam semesta. Kita adalah alam semesta itu sendiri. Bila saja kita menyadari akan hal itu, bahwa manusia tidak akan bisa terpisahkan oleh alam mana mungkin kita merusak ‘diri kita sendiri’?