Minggu, 30 November 2014

Fiksi: Si Rumit [9]


aroma kopi hitam menusuk hidung di dalam kamar ku, begitu juga asap rokok yang terperangkap dalam kamarku yag kecil ini. jam antik di kamarku gak berfungsi dari setahun lalu, tapi waktu masih berjalan terus dari jutaan tahun lalu. sekarang jam sepuluh malem tanggal tiga puluh november, dan aku khawatir gak bisa tidur lagi, besok kuliah jam delapan pagi. yaudah, buat kali ini aja minum obat tidur biar ngantuk. biar bisa lelap.

sebelum tidur, seperti yang gak pernah absen. si rumit harus hadir mata kuliah wajib di dalam kepalaku. minimal tiga sks sampe aku tertidur hari itu. aku heran, tanpa sadar aku udah duduk di kursi warung kopi yang bagus. sambil baca buku knut hamsun, judulnya lapar. tanpa diminta, tiba-tiba si rumit datang nyamperin aku yang duduk sendiri. sambil posisikan dirinya duduk disampingku, dia tersenyum, cantik. dan aku kaget dia pesen kopi yang sama denganku.

saat itu dia pake kerudung warna biru, kemeja merah muda dan rok panjang warna pastel. ingin sekali aku menyanjungnya tapi mulutku cuman bisa diam dan tersenyum sedikit. aku tanya dia "ada apa kesini?" dia balas jawab "katanya kamu mau cerita, kang?" memang, akhir-akhir ini, aku pengen banget cerita tentang mulai dari 'isi perut bumi dan apa yang ada di atas langit'. tapi gak tau ke siapa, cuman pengen ke dia, ke si rumit.

sebelum ini, beberapa kali aku udah tanya dia, punya waktu gak untuk makan siang berdua dan ngasi tau kalau aku pengen cerita. tapi dia gak pernah bisa, atau dia memang menghindar. ah, biar. aku gak punya alesan untuk nuntut dia denger ceritaku, lagi pula apa peduli dia. tapi, di warung kopi itu. dia ikhlas denger semua ceritaku, gak bicara satu kata pun, pandangi aku, membiarkan aku cerita semuanya. dia berhasil meneduhkanku. menghilangkan kekhawatiranku.


kopi digelas kami sudah habis. aku pandangi mata dia. tapi, tiba-tiba kami berdua udah ada di bandara, ada juga orang tuaku disitu. aku baca tiket pesawatku. ternyata, aku mau terbang ke norwegia. dan itu adalah momen perpisahanku. bawaanku banyak sekali. seperti mau pindah rumah. sebelum aku check in, si rumit datang hampiri aku, satu kalimat yang aku ingat: "kamu itu kupu-kupu di dalam kamarku, terbanglah jauh keluar jendela kamar, kejarlah fakta-fakta dunia sebelum kamu kembali. jangan lupa untuk ingat tuhanmu." dia gak nangis karena aku pergi, dia tersenyum, orangtuaku juga.

hari pertamaku di norwegia, aku ada di kelas di kampus yang mirip istana, dengan beberapa orang asing yang gak aku kenal. di depan berdiri ibu-ibu seperti dosen dengan bahasa ingrisnya yang fasih bilang: "welcome students, today our first lesson is about 'to be born again'." pelajaran baru dimulai, tapi aku tiba-tiba lagi udah ada di dalam trem, trem itu seperti kereta kecil dalam kota. aneh, aku ketakutan disitu, aku cuman pengen pulang, pengen ketemu si rumit.


dan.......
tiba-tiba aku kebangun, udah jam setengah delapan pagi! aku harus kuliah. sial, semua cuman mimpi! tapi itu mimpi yang keren. mungkin ada hubungannya dengan realita. aku emang punya banyak cerita untuk si rumit. tapi dia agak sibuk dengan kuliahnya. selalu gak jadi ketemu. walaupun semalem aku udah cerita semuanya ke si rumit dalam mimpi. bener-bener cerita yang persis yang pengen aku ceritain ke dia! tapi aku belum lega, karena itu cuman dalam mimpi.

dan kenapa harus norwegia? aku gak tau, aku emang punya keinginan kuliah di luar negeri. mungkin mimpi semalem aku jadiin satu motivasi khusus kalau aku harus bisa sampai ke ujung dunia, aku mau terus belajar mengejar fakta-fakta dunia, seperti kata si rumit dalam mimpiku semalem. walaupun semua cuman mimpi, tapi untuk si rumit aku pengen bilang: terima kasih, udah mau denger ceritaku, mungkin lain kali harus beneran, bukan cuman di mimpi.

berkat freud, sekarang aku tau apa makna mimpiku itu, dan mimpi-mimpi lainnya. mimpi itu cuman interpretasi dari hal-hal yang gak sempat kita ungkapkan secara verbal atau aksi dalam kehidupan nyata saat kita terjaga. karena kata freud, secara gak sadar kita selalu berusaha mewujudkan keinginan dan hasrat yang sulit kita ungkapkan di kehidupan nyata dengan cara memunculkan keinginan itu dalam bentuk mimpi saat kita tertidur (auliafairuz.blogspot.com)

Sabtu, 29 November 2014

Be Brave


Gusti Allah Tidak Ndeso (Kampungan)


Sumber: addinie.wordpress.com

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun:

"Cak Nun," kata sang penanya, "Misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso (kampungan) gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak," katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi,"

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata Tuhan:

Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.

Kalau engkau menegur orang yang keseipan, Akulah yang kesepian itu.

Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Cak Nun berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini:

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

"Kalau saya," ucap Cak Nun, memilih orang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjka-injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu diliat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolak ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah peirlaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunana, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baa al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak orang yang beragama.

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.

Orang beragama adalah yang bisa menggembirakan tetangganya.

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.

Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum tertindas.

juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.

Nabi Muhammad SAW menjawab dengan singkat, "Ia di neraka."

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.

Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.

Hal ini sejalan dengan definisi keberagaman dari Gordon W. Alport.

Alport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan sedemikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yag intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam hatinya.

Senin, 17 November 2014

[Film Review]: Babette's Feast (1987)


*aku tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah. dengan bahasa inggris yang masih jelek.

“An artist is never poor”

First of all , i recommend you to watch this film without empty stomach. Because i bet that you will salivating over the food, it means you’re gonna miss the point. “Babette’s feast” is a film by Gabriel Axel was first release in 1987 which is based on a short story by Danish author Karen Blixen. For me “Babette’s feast” is little bit kind of religious film. Because it reminds me of The Last Supper of Jesus with his twelve disciples. And so much Christian symbols in this film.

It sets in the second half of the 19th century on Denmark’s remote Jutand coast, in a small fishing village. Most of the villagers are a fervent Protestant pastor who lived with his two gorgeous daughters, Martina and Philippa. It shows us that their entire lives have been shaped by their religious convictions. You can see by how the way they pray, worship and conduct their affairs within the context of their faith. The two daughters has a beloved suitor, and they turns them down because of his father religious vision that the wordly concerns were not valued, therefore they never married (and never educated?). The suitor are Lorenz as a young officer and Papin as a famous French opera star who has been vacationing on the Jutland coast.

After their fathers’s death, the two young women slip into unmarried middle age, doing on the pastor’s work with saintly dedication. To feed  poor. And one day, in a stormy night, Babette knocks at their door house, bring a letter from Papin who has recommend Babette to ask the sisters (Martina and Philippa) for help, because there’s a civil war in french that year. Of course, the sisters accept her offer with pleasure. Then, Babette become their unpaid servant for cleans, washes, sews and cooks the split cod and ale bread that were the villager’s staple diet.

The death of the Pastor has affect the villagers to become more often quarrelling each other and split by old revenges and jealousies. There is a scene when the villagers start quarelling, and at the same time they start to sing a hymn “Jerusalem, my heart’s true home” which is recall the pastor’s eschatological vision of a world transformed but fail to kindle the former devotion and zeal.  The sisters plan a simple feast for honoring 100th birthday of their father. And Babette offer them to preparing the feast with french meal and willing to bear the cost because she’s just won 10.000 francs in the French lottery. Eventually, the sisters allow her to prepare.

Babette proceeds to order from the Paris supplies the likes of which the sisters never tasted, never dreamed. Such as wines, live-quail and turtle. To see Barbette cooks like torturing the living things, Martina and Philippa begin to fear that something akin to a witches Sabbath is about to take place and they fearfully alert the rest of the disciples. All agree that they will attend the dinner without comment anything about Babette’s cook, as if they had no sense of taste. Two other guests, they are Lorenz and his aunt did not know about this agreement.

Babette is immersed in the astonishing, sensuous and elaborate preparations for her meal. The guests arrive, their somber, otherworldly dress and demeanor in high contrast to the sumptuous table set before them. Lorenz alone, unaware of the group's strategy to remain disengaged, is overwhelmed by the exquisite fare which unfolds in magnificence before them, course by course and liquor by liquor. He speaks of a famous Parisian chef, a woman, who in the years before the civil war, was fabled for her culinary artistry. She had made dining a love affair in which there was no distinction between the spiritual and other appetites. Surely, the general remarks, these delicacies are the very ones he had savored at the fabled Cafe Anglais.

Finally, the gusets are warmed by fine meal by what Babette’s prepareing for. The guests begin to respond each other. Old revenges and sins are forgiven.  Lorenz, told the deceased Pastor’s words, aknowledges the reality of a wolrd illuminated by love. The guests going home one by one. And make a circle and dance spontaneously as an grateful expression to God. Inside, the sisters thank Babette for her feast and learn that she was the fabled chef of the Cafe Anglais and that she will not be returning to her French again for she has spent her entire lottery winnings on the meal. With Martine and Philippa aghast, she explains that she had given everything not simply for them but because within each artist's soul is the cry to be given the chance to be the best they can be. Philippa, speaking the words Papin had spoken to her, promises that in paradise Babette will be the great artist God intended her to be.


The first minutes of the film voices raised in song: "Jerusalem, my heart's true home ..." its the most fundamental Christian symbolism comes into play. Jerusalem, as the image of a transfigured world where at the end of time, all the deepest human hopes and longings will be fulfilled. And Babette who comes mysteriously to live with the villagers, and taking on the role of servant, then finally giving all of her got to them is like a reflection or image of resurrection of Jesus Christ. Then, Ale bread as a staple diet for villagers is a symbol of Christiant too. In bible, jesus once said that ‘He is a bread of life’. Then. we can see in every church when the Christiant pray, the pastor will give a ‘thin bread’ for them, its the same what Jesus did when He gave people bread and fish in the desert. And also wine,  Most of Jesus parables were about vineyards. He used wine, wineskins, vines and winepresses to illustrate spiritual points. His fisrt miracle was turning water ini wine, isn't He? Gallons and gallons of the best wine for a party.

The appearance of Lorenz and Papin are symbols of secularism who has open minded for looking at things. Its different with the villagers who has concervative minded then it leads the villagers to prejudice for what Babette do with the meal. The things of the soul for them are paramount and soul and body are clearly demarcated. Romantic love, fine foods, aesthetic indulgence, high office and achievement are considered as negligible, even as sinister lures. This world is a passing place in which ultimate salvation is assured through the practice of works of charity, the restraint of "worldly" desires and constant vigilance against temptation.

Why this film reminds me of The Last Supper? Because the last scene of this film is the pastor’s memorial becomes a symbol of The Last Supper. Then, we can see how much people whose attend at the table, ya, they are twelve. Its the same with the number of people in ‘The Last Supper’ painting by Leonardo Da Vinci. The villagers proceed to recall the days of their early inspiration, when their Pastor was with them and life was filled with promise and miracle. Then the supper begins in earnest with Babette in the kitchen, supplying a meal her guests scarcely have eyes to see or tongues to taste. But gradually as they are fed, they awaken to the miracle taking place in their midst. That miracle resides not only in the food itself but becomes embodied in each other. Not only are the sins of their past mutually forgiven, these past lapses are seen in a new transfigured light.