Jumat, 27 September 2013

Mendadak Rakutak






Libur akhir minggu ini menjadi panjang karena Idul Adha, tapi tidak ada satupun rencana untuk mengajak bermain saudaraku di Palawa. Kegiatan lain yang dirasa lebih penting menyita banyak pikiranku. Hari itu Kang Bai mengingatkan ku mengajak main saudara lain yang tidak pulang kampung lebaran. Rencana dadakan pun disusun. Imam  pun  berusul untuk menjajaki gunung Rakutak di selatan Bandung.

Malam minggu yang (mungkin) seharusnya kita sedang asyik berkeliling kota dengan pacar atau teman geng pun kita isi dengan briefing untuk persiapan esok harinya. Sembilan orang yang sudah dipastikan akan ikut. Padahal aku merasa sedikit khawatir dengan kondisi terakhirku yang dua minggu ini absen binjas, apalagi terbayang jalur gunung Rakutak yang dibilang ekstrim oleh Imam.

Rencana awal jam setengah sepuluh akan berangkat dari sekret gagal karena kesiangan dan kami harus menunggu Iwan yang tak kunjung datang sampai hampir tengah hari.

Kalau boleh jujur sebenarnya aku ragu dengan kesiapan teman seperjalanan ku kali ini. Maklum aku baru pertama bermain bareng dengan adik ku yang paling baru, angkatan Bajra Karana. Ditambah dengan perisapan yang mendadak tapi jangan sampai tidak memenuhi SOP (Standart Operational Procedure). Peta dan kompas tak lupa kami bawa. Persediaan air pun kami isi semenjak di sekret.

Perjalanan dimulai dengan naik angkutan umum jurusan Gedebage – Majalaya, cuman itu yang aku ingat. Sisanya masih ada tiga kali lagi kami harus naik angkutan umum. Lumayan jauh perjalanan ke titik start. Sekitar jam dua siang kami baru sampai. Tepatnya di gerbang Desa Sukarame, Kecamatan Pacet. Dari sini kami harus melewati perumahan, setelah itu melewati kebun warga yang cukup luas.

Hari yang panas. Imam jalan paling dulu sebagai leader diikuti oleh tujuh saudaraku lainnya. Aku lebih memilih jalan diurutan paling terakhir, biar mudah juga mengontrol saudaraku di depan jika ada masalah. Tapi alasan lainnya, kalau jalan paling akhir itu lebih nyaman karena tidak merasa tertekan untuk istirhat sesukanya sepanjang jalan, beda kalau dibelakang kita ada orang lain.

Sudah hampir satu jam kita berjalan. Istirahat sejenak sambil menghirup ‘oksigen’ buatan yang keluar dari sebatang filter yang ku apit di bibirku. Tetesan hujan yang kita hiraukan sejak tadi semakin besar. Buru-buru kami memakai jas hujan masing-masing. Tapi ada juga yang old-skool masih pakai ponco, old is cool, right? Yang penting menurutku sih jangan sampai badan kita langsung terguyur hujan, minimal air hujan harus berusaha dulu menembus lapisan jas atau ponco yang kita pakai. Lagipula memakai jas hujan bukan berarti badan kita tidak basah sama sekali, bukan?


Hujan yang turun ditemani kabut tebal tidak juga berhenti, hari semakin sore dan kami belum menemukan tempat untuk bermalam. Punggungan yang tipis, jurang terjal disepanjang jalan membuat aku sedikit khawatir. Dua saudaraku di depan sepertinya bermasalah, beberapa kali kami bertiga tertinggal dengan yang lain. Jujur saja, kedua saudaraku itu sempat membuat aku sedikit emosi. Baru beberapa langkah sudah harus berhenti duduk, hal itu justru membuatku lelah. Tapi aku harus bisa memotivasi mereka.

Kami sampai di satu puncakan yang sempit. Di depannya ada jalur yang bisa dikatakan cukup berbahaya dengan kondisi cuaca seperti ini. Jalur tersebut berada di punggungan yang sangat tipis, kanan dan kirinya jurang yang terjal. Salah melangkah sedikit saja…. Aku yakin kamu tau yang aku fikirkan. Sebelum melewati jalur itu, aku tekankan ke saudaraku yang lain untuk tetap fokus dan berhati-hati.

Kang, kapan kita nge-camp?”

Isal seperti yang sudah tidak sanggup lagi berjalan. Aku bilang sebentar lagi kita akan sampai. Padahal aku sendiri tidak tau kapan. Aku ingatkan Imam untuk langsung berhenti kalau ada dataran yang luas untuk buat tempat tidur. Tidak lama dari situ akhirnya kita menemukan tempat yang tidak begitu luas tapi dirasa cukup untuk membuat camp dan dapur. Dibawah pohon yang besar kita membuat tempat tidur senyaman mungkin.

Entah kenapa, aku tidak suka kondisi dimana sedang membuat camp tapi hujan masih saja turun. Karena pergerakan jadi statis, badan gampang sekali mengigil apalagi merasakan baju yang basah menempel di kulit. Aku membantu membuat camp sedangkan imam membantu memasak di dapur. Agar nyaman kami mencari tanaman paku untuk dijadikan lapisan alas sebelum ponco dan matras untuk tidur.

Akhirnya hujan berhenti.
Sambil menunggu makan malam siap aku mengganti pakaian kering untuk tidur dan melapisinya dengan jaket goretex yang melindungiku dari dingin. Suasana yang penuh keceriaan dari saudaraku yang lain menambah kehangatan malam itu.

Makan malam sudah siap untuk dihidangkan. Semua berkumpul di tengah antara tenda tidur dan tenda dapur. Ada tempe orek, ikan asin dan tak luput sambal terasi. Ada juga sayur sup baso.

Euh, naha basona asa asem, ieu mah basi mereun?”

Seseorang menyeletuk. Aku jadi penasaran, kuambil sepotong baso dari mangkuk sup itu. Ya, ternyata memang asem bisa dipastikan itu baso basi. Padahal baru dibeli tadi pagi. Aku menghimbau saduaraku yang lain untuk tidak memakannya. Khawatir keracunan esok paginya. Tapi benar, logistik selalu mengalahkan logika. Semua mengamini kalau baso itu basi, tapi ternyata tetap habis tidak bersisa. Beruntung tidak keracunan. Yasudahlah, yang penting kami semua bahagai dengan kenyangnya perut malam itu.

Malam itu kami banyak berbicara tetnang banyak hal. Aku pun teringat akan kisah gunung Rakutak yang sedang kami daki ini. Sebelumnya sempat aku membaca beberapa cerita di internet, memang gunung ini tidak banyak dikenal orang seperti gunung Semeru atau bahkan gunung Cikuray yang terlihat dari puncak Rakutak. Tapi ternyata gunung ini pernah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Petinggi DI/ TII yang bernama Kartosuwiryo dibekuk di sekitar gunung ini.


Pada tanggal 2 Juni 1962, Komandan Kompi C Letda Infanteri Suhanda yang berkedudukan di Kampung Cihejo Kecamatan Pacet bertemu Kapten Infanteri Hasan, Komandan Kompi Batalyon 327. Dalam pertemuan kilat itu Hasan menginformasikan insiden perampokan di Panggauban dan jalan Gagak. Mendengar laporan tersebut, dibentuklah tiga peleton pemburu untuk melakukan pengejaran. Tugas mereka mencari dan menangkap hidup-hidup gerombolan DI/ TII.

 Ketiga peleton terdiri dari Peleteon 3/C dipimpin Wakil Komandan Kompi C, Capa Ali Sufi. Tugasnya membersihkan komplek Cibitung untuk selanjutnya menunju Gunung Dogdog, gunung yang berada di selatan gunung Rakutak. Peleteon 1/C bertugas membersihkan Cijaba dan terus menuju gunung Malang. Sementara Peleteon 2/C dan regu runduk dipimpin Pelda Amir Susanto menuju bagian utara gunung Rakutak.

Pengejaran Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo merupakan bagian dari operasi Bratayudha dari Maret sampai Juni 1962. Kodam VI Siliwangi yang menyusun rencana operasi, menempatkan Batalyon 328 sebagai satuan inti untuk memukul konsentrasi DI/ TII. Daerah operasi pengejaran dinamakan Kuru Sera II, meliputi gunung Guntur dan Batara Guru. Diketahui bahwa Kartosuwiryo sempat membentuk tiga datasemen untuk mengamankan dirinya. Setiap datasemen berkekuatan 300-400 personil.

Upaya Kompi C tidak sia-sia. Mereka menemukan markas DI/ TII di lembah Geber-Rakutak. Awalnya terjadi baku tembak, smapai akhirnya mereka menangkap Aceng Kurnia, salah satu petinggi DI/ TII. Dari Aceng Kurnia didapatkan informasi bahwa Kartosuwiryo ada di sana, dalam keadaan sakit parah. Penangkapan ini tidak terlalu sulit. Pasukan pengawalnya tidak banyak, hanya 23 orang dan dalam kondisi lemah pula akibat kelaparan. Karena Kartosuwiryo tak mampu berjalan, terpaksa digotong di atas tandu darurat menuju Paseh.

Ya, itulah sedikit banyak cerita yang ku dapat dari hasil membaca beberapa sumber di internet. Ternyata naik gunung juga bisa menambha pengetahuan kita, apapun itu, entah mitos atau bahkan sejarah bangsa ini. Sudah seharusnya kita mengahrgai itu. Setelah menghisap lintingan daun Aceh, buah tangan temanku kemarin aku pun tertidur dengan lelap malam itu.

Paginya kami dikagetkan dengan ceria saudaraku Riski yang sempat melihat orang jongkok melihat ke dalam tenda waktu semua tertidur. Ah, aku bilang itu hanya ilusinya saja karena kelelahan. Langsung kami bergerak untuk membereskan tenda dan sebagian memasak sarapan. Dan jam sembilan pagi kami melanjutkan pendakian kami sampai ke puncak.
 
Ternyata tidak terlalu jauh untuk sampai ke puncak utama Rakutak. Sekitar jam sebelas kita sudah sampai disana. Tapi sebelumnya kami harus melewati jalur yang persis kami lewati sebelum sampai basecamp. Punggungan yang sangat tipis lebarnya tidak lebih dari 50 cm dan mungkin panjangnya sekitar 500 meter. Disini kita harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Walaupun begitu pemandangan yang disajikan cukup memanjakan mata, menikmati kota Bandung dari ketingggian. Yang disayangkan, di puncak masih banyak sekali sampah plastik dan steorofom berserakan. 
 
Dari puncak tidak membutuhkan waktu yang lama untuk turun sampai ke desa, sekitar satu jam setengah.  Sampai di desa kami berhenti sejenak di sebuah warung pinggir jalan. Sambil menunggu angkutan umum yang lewat, saku pesan indomie rebus, cuman disini mie rebus seharga 2500 rupiah.

Yang membuat kami sedikit bingung adalah saat harus melewati kebun warga. Alhasil titik finish berbeda jauh letaknya dari titik start. Tapi puji tuhan kami semua selamat sampai sekre dan terimakasih untuk gunug Rakutak untuk pelajarannya kali ini.