Sabtu, 29 November 2014

Gusti Allah Tidak Ndeso (Kampungan)


Sumber: addinie.wordpress.com

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun:

"Cak Nun," kata sang penanya, "Misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso (kampungan) gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak," katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi,"

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata Tuhan:

Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.

Kalau engkau menegur orang yang keseipan, Akulah yang kesepian itu.

Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Cak Nun berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini:

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

"Kalau saya," ucap Cak Nun, memilih orang ketiga.

Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjka-injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu diliat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolak ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah peirlaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunana, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baa al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak orang yang beragama.

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.

Orang beragama adalah yang bisa menggembirakan tetangganya.

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.

Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum tertindas.

juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.

Nabi Muhammad SAW menjawab dengan singkat, "Ia di neraka."

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.

Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.

Hal ini sejalan dengan definisi keberagaman dari Gordon W. Alport.

Alport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan sedemikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yag intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar