kiri ke kanan: Budi Brahmantyo, Dr. Ko, Pindi Setiawan
(Doc: Ikhsan Rizky - Palawa Unpad)
Sore hari tadi sarasehan geologi
menjadi lebih menarik karena kedatangan Dr. Ko yang merupakan seorang ahli gua
dan juga seorang dermatologist. Beliau dikenal karena konsistensinya sebagai
pemerhati kawasan karst –ekso dan endo–, tidak hanya diakui secara nasional
namun juga dalam lingkup internasional. Walaupun sudah tidak muda lagi, beliau
tetap semangat menularkan ilmunya dengan mempresentasikan betapa pentingnya
kawasan karst bagi kehidupan.
Bila kita berbicara semen tidak akan
terlepas dari batuan gamping dan karst, karena kandungan yang terdapat pada
batuan gamping merupakan satu-satunya sumber bahan baku dalam pembuatan semen. Tidak
heran jika banyak pabrik semen menjadi pragmatis –menghalalkan segala cara–
untuk terus mengeruk kawasan karst. Tak jarang upaya pabrik-pabrik semen
tersebut menyulut konflik dengan warga setempat. Kawasan karst Rembang adalah
salah satu contohnya.
Bagi konservasionis seperti Dr. Ko,
ekosistem yang terdapat di kawasan karst menjadi pertimbangan prinsipil untuk
dilindungi. Perlu diketahui ekosistem adalah suatu keadaan khusus dimana
komunitas dari pelbagai macam organisme hidup dan saling berinteraksi (hubungan
timbal balik). Dr. Ko menyebutkan satu contoh organisme yang memiliki peran
penting di kawasan karst, kelelawar.
Kelelawar adalah mamalia yang mampu
terbang dan hidup menggantung di atap-atap gua. Salah satu kebiasaan makanan
kelelawar adalah buah-buahan. Karena kebiasaannya inilah, kelelawar menjadi agen
pembawa biji atau benih yang nanti akan tumbuh menjadi tumbuhan baru. Secara
tak langsung, kelelawar turut melestarikan jenis-jenis tumbuhan yang berada di
habitatnya, dalam hal ini adalah kawasan karst.
Selain itu, walaupun terlihat
gersang dan tandus, kawasan karst memiliki daya serap air yang baik. Air hujan
yang jatuh akan terserap dan larut ke dalam permukaan sehingga membentuk
rekahan, yang nantinya akan membentuk aliran air. Semakin lama aliran air ini
akan membesar sehingga membentuk gua. Proses ini tidaklah sebentar, membutuhkan
waktu jutaan tahun untuk membentuk sebuah gua. Selain menyimpan keindahan di
dalam gelapnya, gua adalah sumber mata air bagi masyarakat. Mengenai hal ini,
Dr. Ko menyatakan 25% sumber air dunia adalah air karst.
Berbeda dengan Dr. Ko, Pindi
Setiawan yang merupakan alumnus FSRD ITB melihat keunikan karst dari keilmuan
lain, yaitu seni (gambar cadas). Gambar cadas merupakan peninggalan manusia
ribuan tahun lalu biasanya terdapat pada dinding gua dan tebing. Gambar ini
digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi atau mengekspresikan perihal
tertentu. Ini menjadi penting karena dapat merepresentasikan peradaban leluhur
atau nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, khususnya di Indonesia.
Apa yang diapaparkan di atas
hanyalah sebagain kecil dari sekian banyak alasan untuk melindungi kawasan
karst. Dr. Ko mengatakan bahwa masalah di kawasan karst tidak hanya sebatas
urusan geologi semata. Banyak aspek dan disiplin ilmu (ex: hidrologi,
antropologi, biologi) yang perlu dikaji secara terpadu dan holistik dalam
mengeksplorasi potensi kawasan karst, yang nantinya akan dijadikan acuan apakah
kawasan tersebut layak untuk ditambang atau tidak. Hal ini terkait dengan AMDAL
yang sering dimanipulasi oleh para pemodal untuk mengeksploitasi suatu kawasan.
Begitu juga dengan pengetahuan mengenai karst yang masih terbatas menjadi celah
yang dapat dimanfaatkan oleh para pemodal ini untuk mengelabui, entah masyarakat
itu sendiri atau bahkan pemerintah.
***
Budi Brahmantyo seorang geologis,
memaparkan pendapatnya tentang dilema kawasan karst. Beliau mengakui bahwa
memang belum ada solusi dalam permasalahan kawasan karst ini. Kandungan kalsium
karbonat yang merupakan bahan baku pembuatan semen hanya dapat diperoleh dari
batuan gamping, belum ada alternatif lain. Sementara, keberadaan kawasan karst
juga penting sebagai pemberi kehidupan. Karena begitu dilematisnya permasalahan
ini, beliau hanya mampu mengembalikannya kepada hati nurani kita: apakah
perlakuan kita terhadap alam sudah tepat?
Ada satu kuotasi dari Dr. Ko yang
menarik, beliau mengatakan “I live in the
forest and the forest live in me”. Kalau boleh saya tafsirkan, kalimat
tersebut menunjukan bahwa dengan segala kerendahan hati, manusia adalah bagian
dari alam semesta. Kita adalah alam semesta itu sendiri. Bila saja kita
menyadari akan hal itu, bahwa manusia tidak akan bisa terpisahkan oleh alam
mana mungkin kita merusak ‘diri kita sendiri’?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar