www.simplypsychology.org
bagi anak psikologi pasti mengenal nama erik erikson, seorang psikolog asal jerman yang juga berdarah denmark. ia mengagas sebuah teori yang dikenal dengan teori psikososialnya atau biasa disebut dengan delapan tahap perkembangan manusia (lihat tabel di atas). erikson membagi tiap tahap berdasarkan usia manusia. namun dalam tulisan ini, aku gak akan menjelaskannya lebih jauh. aku ingin mengajak kalian membayangkan kedelapan tahapan itu diperkecil skalanya ke dalam usia akademis (kita) sebagai mahasiswa.
usia akademis ku udah mencapai enam dari tujuh tahun, hanya kurang satu tahun lagi dari seluruh sisa 'hidup' ku sebagai mahasiswa. mungkin kalau aku masukan dalam delapan tahap psikososialnya erikson, aku udah berada di tahapan terkahir: ego intergrity vs despair atau dalam tahap usia lanjut. dimana menurut erikson, dalam tahap ini orang cenderung melakukan intropeksi diri atas prilaku yang telah diperbuat selama hidupnya. kalau semasa hidup mencapai keberhasilan maka ia akan berpuas diri (intergirity). tapi sebaliknya, bila tidak, maka ia akan merasa beruputus asa (despair). lalu, dimanakah aku di antara dua itu?
***
sebelum menjawab pertanyaan di atas, aku juga mau mengajak kalian melihat apa yang udah aku perbuat dimasa 'hidup' ku sebagai mahasiswa:
aku sama seperti kalian, aku merelakan diriku bergelut dengan bangku kuliah dengan setumpuk tugasnya yang mengiringi setiap langkah, setiap jengkal pikiranku. terkadang aku juga bolos kalau lagi males kuliah: tidur di kosan sampai siang, nonton film drama yang aku beli, atau playing my guitar all day long which always out of tune that can never please anyone, but myself. di lain waktu, bersama temen kampus aku berdiskusi tentang banyak hal: mulai dari keilmuan sampai kemanusiaan, sayang, cuman berakhir di atas meja gapleh.
selain belajar dari bangku kelas, kata orang bijak: kita juga harus melatih soft skill untuk memenuhi pengembangan diri. bagi para mahasiswa, soft skill selalu erat kaitannya dengan organisasi. maka dari itu, aku pun menjadi salah satu anggota organisasi tingkat universitas di kampus ku, sampai sekarang aku masih aktif. apalagi alasan dan motivasinya selain untuk mendapatkan pengalaman yang bisa aku tulis di curiculum vitae dan juga untuk mendapatkan jaminan modal sosial (networking) yang nantinya bisa aku manfaatkan sesuai kebutuhan?
saat itu aku gak memahami betul apa itu aktivisme, yang aku tau setiap orang atau mahasiswa yang menjadi anggota organisasi kampus disebut dengan aktivis. kalau benar begitu, aku udah melebeli diriku seorang aktivis. tapi, sebenernya aktifitas di orgnaisasi gak jauh berbeda dengan dengan bangku kelas. aku juga harus mengerjakan tanggung jawab dalam bentuk tugas dari program kerja tiap tahunnya, dan itu gak sedikit, yang terpaut pada target tertentu dan juga deadline, mengadakan latihan, serta kegiatan yang makan banyak waktu. gak heran kalau kadang aku perlu mengorbankan sedikit waktu kuliah demi loyalitas terhadap organisasi. buruknya, jadwal kuliah dan organisasi yang (aku anggap) padat jadi pembenaran buatku untuk gak melakukan hal lainnya yang lebih bermanfaat (untuk orang lain).
kata orang bijak lainnya: selain perut, otak juga perlu diberi makanan yang bergizi. mulai saat itu aku mulai suka baca buku, entah itu buku fiksi atau non-fiksi. aku baca apapun yang menarik hatiku. apalagi alesannya selain buat menambah wawasan dan memperkaya diri sendiri dengan pengetahuan yang lain? lebih dari itu, khususnya buku-buku fiksi, bisa membuat kita flying through imagination, membuat kita lupa akan waktu, membuat kita lupa akan realitas di sekitar kita. di satu sisi aku pikir itu merupakan hal yang baik, tapi aku juga menemukan sisinya yang buruk. kenapa? karena ternyata memiliki wawasan itu tidak akan menyelamatkan apa-apa dan siapa-siapa.
***
bagaimana menurut kalian? apa yang kalian pikirkan dari tulisan ku di atas? mungkin sebagian dari kalian ada yang menganggap, apa yang aku lakukan adalah hal wajar yang biasa dilakukan oleh mahasiswa lainnya. tapi coba kalian lihat dari perspektif yang berbeda, karena bagiku itu justru adalah sebuah kegagalan ku sebagai seorang mahasiswa. di tahap ke delapan dari teori erikson ini, di usia akademis yang udah renta. hasil intropeksi ku justru leading me to hopelessness (despair). ya, aku telah gagal or generally speaking, i've done things that i should not be proud of...
tanpa disadarai apapun yang telah aku lakukan selama enam tahun ini, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan ku sendiri. seperti kuliah: yang (akan) aku selesaikan sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana, mendapat kerja yang layak, menjadi buruh industri, mendapat penghasilan, menghidupi hidup ku sendiri, bukan begitu? begitu pula dengan loyalitasku terhadap organisasi, apa lagi yang aku peroleh selain untuk kepentingan ku sendiri, seperti menambah pengalaman dan netwroking? selain itu, apalagi yang aku peroleh dari membaca buku, selain kesenangan dan kepuasan pribadi untuk mengetahui banyak hal yang tidak akan pernah menyelamatkan apa-apa dan siapa-siapa?
aku telah menjadi orang yang sangat egois. aku hanya memikirkan diriku sendiri. padahal, selama ini aku menumpang hidup di kota ini, mendapat apapun yang aku butuhkan. tapi aku udah menutup mata, lupa bahwa aku adalah seorang mahasiswa, seorang manusia, dan juga bagian dari masyarakat. tapi tidak ada sedikitpun dari tindakanku yang kongkret dapat bermanfaat bagi kota ini, bagi masyarakat sekitarku. bukankah seorang mahasiswa harusnya hadir di tengah masyarakat? dengan intelektualitasnya bukankah seharusnya mahasiswa dapat melayani dan membantu masyarakat mencari solusi atas permasalahan yang ada? menjadi agen perubahan dan sebagai pengontrol sosial di lingkungan atau masyarakat sekitarnya? dan dengan 'kebebasan' yang dimilikinya bukankah mahasiswa bisa melakukan banyak hal?
***
aku gak tau apa yang aku tulis di atas itu benar bagi kalian atau gak, setiap orang selalu punya standar kebenarannya masing-masing, setiap orang selalu punya konsep gimana seharusnya manusia menjadi dan gimana seharusnya mahasiswa menjadi.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. - Soe Hok Gie