Libur akhir minggu ini menjadi
panjang karena Idul Adha, tapi tidak ada satupun rencana untuk mengajak bermain
saudaraku di Palawa. Kegiatan lain yang dirasa lebih penting menyita banyak
pikiranku. Hari itu Kang Bai mengingatkan ku mengajak main saudara lain yang
tidak pulang kampung lebaran. Rencana dadakan pun disusun. Imam pun berusul untuk menjajaki gunung Rakutak di
selatan Bandung.
Malam minggu yang (mungkin)
seharusnya kita sedang asyik berkeliling kota dengan pacar atau teman geng pun
kita isi dengan briefing untuk
persiapan esok harinya. Sembilan orang yang sudah dipastikan akan ikut. Padahal
aku merasa sedikit khawatir dengan kondisi terakhirku yang dua minggu ini absen
binjas, apalagi terbayang jalur gunung Rakutak yang dibilang ekstrim oleh Imam.
Rencana awal jam setengah sepuluh
akan berangkat dari sekret gagal karena kesiangan dan kami harus menunggu Iwan
yang tak kunjung datang sampai hampir tengah hari.
Kalau boleh jujur sebenarnya aku
ragu dengan kesiapan teman seperjalanan ku kali ini. Maklum aku baru pertama
bermain bareng dengan adik ku yang paling baru, angkatan Bajra Karana. Ditambah
dengan perisapan yang mendadak tapi jangan sampai tidak memenuhi SOP (Standart Operational Procedure). Peta
dan kompas tak lupa kami bawa. Persediaan air pun kami isi semenjak di sekret.
Perjalanan dimulai dengan naik
angkutan umum jurusan Gedebage – Majalaya, cuman itu yang aku ingat. Sisanya
masih ada tiga kali lagi kami harus naik angkutan umum. Lumayan jauh perjalanan
ke titik start. Sekitar jam dua siang kami baru sampai. Tepatnya di gerbang
Desa Sukarame, Kecamatan Pacet. Dari sini kami harus melewati perumahan,
setelah itu melewati kebun warga yang cukup luas.
Hari yang panas. Imam jalan
paling dulu sebagai leader diikuti oleh tujuh saudaraku lainnya. Aku lebih
memilih jalan diurutan paling terakhir, biar mudah juga mengontrol saudaraku di
depan jika ada masalah. Tapi alasan lainnya, kalau jalan paling akhir itu lebih
nyaman karena tidak merasa tertekan untuk istirhat sesukanya sepanjang jalan, beda
kalau dibelakang kita ada orang lain.
Sudah hampir satu jam kita
berjalan. Istirahat sejenak sambil menghirup ‘oksigen’ buatan yang keluar dari
sebatang filter yang ku apit di bibirku. Tetesan hujan yang kita hiraukan sejak
tadi semakin besar. Buru-buru kami memakai jas hujan masing-masing. Tapi ada
juga yang old-skool masih pakai
ponco, old is cool, right? Yang
penting menurutku sih jangan sampai badan kita langsung terguyur hujan, minimal
air hujan harus berusaha dulu menembus lapisan jas atau ponco yang kita pakai.
Lagipula memakai jas hujan bukan berarti badan kita tidak basah sama sekali,
bukan?
Hujan yang turun ditemani kabut
tebal tidak juga berhenti, hari semakin sore dan kami belum menemukan tempat
untuk bermalam. Punggungan yang tipis, jurang terjal disepanjang jalan membuat
aku sedikit khawatir. Dua saudaraku di depan sepertinya bermasalah, beberapa
kali kami bertiga tertinggal dengan yang lain. Jujur saja, kedua saudaraku itu
sempat membuat aku sedikit emosi. Baru beberapa langkah sudah harus berhenti
duduk, hal itu justru membuatku lelah. Tapi aku harus bisa memotivasi mereka.
Kami sampai di satu puncakan yang
sempit. Di depannya ada jalur yang bisa dikatakan cukup berbahaya dengan
kondisi cuaca seperti ini. Jalur tersebut berada di punggungan yang sangat
tipis, kanan dan kirinya jurang yang terjal. Salah melangkah sedikit saja…. Aku
yakin kamu tau yang aku fikirkan. Sebelum melewati jalur itu, aku tekankan ke
saudaraku yang lain untuk tetap fokus dan berhati-hati.
“Kang, kapan kita nge-camp?”
Isal seperti yang sudah tidak
sanggup lagi berjalan. Aku bilang sebentar lagi kita akan sampai. Padahal aku
sendiri tidak tau kapan. Aku ingatkan Imam untuk langsung berhenti kalau ada
dataran yang luas untuk buat tempat tidur. Tidak lama dari situ akhirnya kita
menemukan tempat yang tidak begitu luas tapi dirasa cukup untuk membuat camp dan dapur. Dibawah pohon yang besar
kita membuat tempat tidur senyaman mungkin.
Entah kenapa, aku tidak suka
kondisi dimana sedang membuat camp tapi
hujan masih saja turun. Karena pergerakan jadi statis, badan gampang sekali
mengigil apalagi merasakan baju yang basah menempel di kulit. Aku membantu
membuat camp sedangkan imam membantu
memasak di dapur. Agar nyaman kami mencari tanaman paku untuk dijadikan lapisan
alas sebelum ponco dan matras untuk tidur.
Akhirnya hujan berhenti.
Sambil menunggu makan malam siap
aku mengganti pakaian kering untuk tidur dan melapisinya dengan jaket goretex yang melindungiku dari dingin.
Suasana yang penuh keceriaan dari saudaraku yang lain menambah kehangatan malam
itu.
Makan malam sudah siap untuk
dihidangkan. Semua berkumpul di tengah antara tenda tidur dan tenda dapur. Ada
tempe orek, ikan asin dan tak luput sambal terasi. Ada juga sayur sup baso.
“Euh, naha basona asa asem, ieu mah basi mereun?”
Seseorang menyeletuk. Aku jadi
penasaran, kuambil sepotong baso dari mangkuk sup itu. Ya, ternyata memang asem
bisa dipastikan itu baso basi. Padahal baru dibeli tadi pagi. Aku menghimbau
saduaraku yang lain untuk tidak memakannya. Khawatir keracunan esok paginya.
Tapi benar, logistik selalu mengalahkan logika. Semua mengamini kalau baso itu
basi, tapi ternyata tetap habis tidak bersisa. Beruntung tidak keracunan.
Yasudahlah, yang penting kami semua bahagai dengan kenyangnya perut malam itu.
Malam itu kami banyak berbicara
tetnang banyak hal. Aku pun teringat akan kisah gunung Rakutak yang sedang kami
daki ini. Sebelumnya sempat aku membaca beberapa cerita di internet, memang
gunung ini tidak banyak dikenal orang seperti gunung Semeru atau bahkan gunung
Cikuray yang terlihat dari puncak Rakutak. Tapi ternyata gunung ini pernah menjadi
bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Petinggi DI/ TII yang bernama
Kartosuwiryo dibekuk di sekitar gunung ini.
Pada tanggal 2 Juni 1962,
Komandan Kompi C Letda Infanteri Suhanda yang berkedudukan di Kampung Cihejo
Kecamatan Pacet bertemu Kapten Infanteri Hasan, Komandan Kompi Batalyon 327.
Dalam pertemuan kilat itu Hasan menginformasikan insiden perampokan di
Panggauban dan jalan Gagak. Mendengar laporan tersebut, dibentuklah tiga
peleton pemburu untuk melakukan pengejaran. Tugas mereka mencari dan menangkap
hidup-hidup gerombolan DI/ TII.
Ketiga peleton terdiri dari
Peleteon 3/C dipimpin Wakil Komandan Kompi C, Capa Ali Sufi. Tugasnya
membersihkan komplek Cibitung untuk selanjutnya menunju Gunung Dogdog, gunung
yang berada di selatan gunung Rakutak. Peleteon 1/C bertugas membersihkan
Cijaba dan terus menuju gunung Malang. Sementara Peleteon 2/C dan regu runduk
dipimpin Pelda Amir Susanto menuju bagian utara gunung Rakutak.
Pengejaran Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo merupakan bagian dari operasi Bratayudha dari Maret sampai Juni
1962. Kodam VI Siliwangi yang menyusun rencana operasi, menempatkan Batalyon
328 sebagai satuan inti untuk memukul konsentrasi DI/ TII. Daerah operasi
pengejaran dinamakan Kuru Sera II, meliputi gunung Guntur dan Batara Guru.
Diketahui bahwa Kartosuwiryo sempat membentuk tiga datasemen untuk mengamankan
dirinya. Setiap datasemen berkekuatan 300-400 personil.
Upaya Kompi C tidak sia-sia.
Mereka menemukan markas DI/ TII di lembah Geber-Rakutak. Awalnya terjadi baku
tembak, smapai akhirnya mereka menangkap Aceng Kurnia, salah satu petinggi DI/
TII. Dari Aceng Kurnia didapatkan informasi bahwa Kartosuwiryo ada di sana,
dalam keadaan sakit parah. Penangkapan ini tidak terlalu sulit. Pasukan
pengawalnya tidak banyak, hanya 23 orang dan dalam kondisi lemah pula akibat
kelaparan. Karena Kartosuwiryo tak mampu berjalan, terpaksa digotong di atas
tandu darurat menuju Paseh.
Ya, itulah sedikit banyak cerita
yang ku dapat dari hasil membaca beberapa sumber di internet. Ternyata naik
gunung juga bisa menambha pengetahuan kita, apapun itu, entah mitos atau bahkan
sejarah bangsa ini. Sudah seharusnya kita mengahrgai itu. Setelah menghisap
lintingan daun Aceh, buah tangan temanku kemarin aku pun tertidur dengan lelap
malam itu.
Paginya kami dikagetkan dengan
ceria saudaraku Riski yang sempat melihat orang jongkok melihat ke dalam tenda
waktu semua tertidur. Ah, aku bilang itu hanya ilusinya saja karena kelelahan.
Langsung kami bergerak untuk membereskan tenda dan sebagian memasak sarapan.
Dan jam sembilan pagi kami melanjutkan pendakian kami sampai ke puncak.
Ternyata tidak terlalu jauh untuk
sampai ke puncak utama Rakutak. Sekitar jam sebelas kita sudah sampai disana.
Tapi sebelumnya kami harus melewati jalur yang persis kami lewati sebelum
sampai basecamp. Punggungan yang
sangat tipis lebarnya tidak lebih dari 50 cm dan mungkin panjangnya sekitar 500
meter. Disini kita harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Walaupun begitu
pemandangan yang disajikan cukup memanjakan mata, menikmati kota Bandung dari
ketingggian. Yang disayangkan, di puncak masih banyak sekali sampah plastik dan
steorofom berserakan.
Dari puncak tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk turun sampai ke desa, sekitar satu jam setengah. Sampai di desa kami berhenti sejenak di sebuah
warung pinggir jalan. Sambil menunggu angkutan umum yang lewat, saku pesan
indomie rebus, cuman disini mie rebus seharga 2500 rupiah.
Yang membuat kami sedikit bingung
adalah saat harus melewati kebun warga. Alhasil titik finish berbeda jauh
letaknya dari titik start. Tapi puji tuhan kami semua selamat sampai sekre dan terimakasih
untuk gunug Rakutak untuk pelajarannya kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar