Sebuah tulisan dikutip dari blog: http://doeniadevi.wordpress.com
layak sekali untuk dibaca))
Setiap usiaku bertambah satu tahun, aku selalu memasukkan tahun
kehidupanku itu ke dalam sebuah kotak ‘kubus’ dengan konektor di keenam
sisinya. Konektor-konektor itu berfungsi sebagai penghubung antara kubus
yang satu dengan kubus yang lainnya. Sehingga walaupun kubus-kubus itu
terlihat terpisah-pisah seperti permainan lego[2], tetapi
jika diperlukan, maka kubus-kubus itu dapat kugabung dengan konektor,
dan kutampilkan menjadi sebuah rangkaian cerita tentang kehidupanku
secara utuh. Kubus-kubus itu kemudian kumasukkan ke dalam sebuah ruang
besar seperti benteng di dalam jiwaku yang kunamakan EKSISTENSI. Lalu
aku mengunci benteng itu rapat-rapat, dan hanya kubuka jika aku
memerlukannya.
Aku sebenarnya tak pernah benar-benar bisa paham apa hakekat
eksistensi yang sesungguhnya. Dalam hitungan tahun pencarian, jawaban
yang kudapatkan tentang eksistensi pada akhirnya hanya merupakan jawaban
sementara yang selalu kembali berujung pada pertanyaan yang memerlukan
jawaban lain yang lebih memuaskan….
Tetapi untuk sementara, aku percaya bahwa eksistensi adalah sesuatu
yang muncul atau terbentuk dari persepsi seorang individu terhadap
dirinya dan dunia sekitarnya. Aku bereksistensi karena aku berpersepsi
bahwa aku eksis. Mirip seperti yang dikatakan Descartes[3] … Namun
eksistensiku lebih kaya daripada sekedar sebuah penalaran sum ergo cogito-cogito ergo sum,
karena aku mempunyai pengalaman-pengalaman lahir dan batin yang
mengikatkan aku dengan eksistensi-eksistensi lain di luar eksistensiku
sendiri, yang semuanya kusimpan dalam sub-eksistensi berupa kubus-kubus
dengan konektor di keenam sisinya.
Kadang-kadang kukeluarkan kubus-kubus itu satu persatu secara
terpisah-pisah. Kadang-kadang pula kukeluarkan dua, tiga, atau empat
sekaligus… lalu kugabung dengan konektor menjadi ratusan variasi bentuk.
Benar-benar persis seperti kepingan-kepingan permainanlego yang
dapat kubentuk sesuka hati; dapat menjadi rumah yang memberi
ketenangan, dapat menjadi batu karang yang mencoba bertahan dalam badai,
menjadi sebuah forkliftyang mampu menolong kita ketika harus
mengangkat sesuatu yang berat, atau kadang-kadang (jika terpaksa)
kubentuk sesuai dengan persepsi orang yang sedang kuhadapi.
Aku sadar, sikapku ini seringkali membingungkan orang-orang di
sekitarku. Karena kepribadianku yang sebenarnya sering menjadi tak
terbaca. Karena aku pada akhirnya selalu lebih memilih untuk menutup
diriku yang sebenarnya rapat-rapat, lebih memilih untuk berkompromi, dan
mencoba memahami orang lain daripada meminta untuk dipahami….
Orang yang berpikiran sempit akan langsung menempeli tubuhku dengan label penderitasplit personality,
atau mungkin akan menangkapku dan segara mengirimku ke rumah sakit
jiwa. Namun orang-orang seperti mereka lupa ada satu hal penting yang
mendasari sah atau tidaknya seseorang dianggap menderita split personality….. yaitu ada atau tidaknya kesadaran akan eksistensinya sendiri. Penderita split personality sering
tidak sadar ketika salah satu pribadinya mengambil pribadi yang lain.
Pribadi-pribadi itu pun biasanya memiliki namanya sendiri-sendiri, dan
biasanya setiap pribadi itu kadang-kadang merasa kehilangan hari-harinya
tanpa pernah mampu mengingatnya. Namun aku tidak begitu. Aku sadar
dengan eksistensiku. Aku juga sadar dengan setiap sub-eksistensiku.
Setiap sub-eksistensiku saling mengenal dan mampu membentuk sebuah
eksistensi yang utuh dengan satu label nama saja: AKU.
Dan aku mampu mengingat apa saja yang pernah kulalui mulai dari aku
lahir sampai sekarang. Pendeknya kubus-kubus itu kukeluarkan secara
terpisah atau secara parsial, benar-benar atas kesadaran yang penuh dan
atas pemikiran yang matang. Dan aku melakukan semua itu bukan aku karena
menderita split personality, melainkan karena pengalaman hidup
membuatku menjadi sangat mengerti bahwa tidak semua orang mampu
mendengarkan keseluruhan cerita hidup dan pemikiranku secara utuh, tak
semua orang mampu memasuki ruang terkunci bernama eksistensi itu tanpa
langsung menghujatku dengan berbagai kata, tudingan, dan sikap yang
kasar; hujatan, tudingan, dan sikap kasar yang timbul dari pemikiran
sangat sempit yang mengira bahwa sebuah kotak korek api hanyalah untuk
batang-batang korek api, bukan untuk benda – benda lain. Padahal, sebuah
kotak korek api pun tak selalu harus berisi batang-batang korek api.
Kita bisa mengisinya dengan kerikil, manik-manik kecil, uang receh, dan
sebagainya.
Pendeknya, aku tak mengijinkan sembarang orang memasuki benteng
terkunci itu karena kusadari jalan hidup dan pemikiranku begitu banyak
berbeda dengan manusia pada umumnya. Tak kan banyak yang bisa mengerti
dan bisa menerimaku apa adanya. Aku pun tak kan pernah mau memaksakan
kehendak untuk diterima apa adanya oleh semua orang. Aku akan mengucap
syukur pada Tuhan jika ada yang mau menerimaku apa adanya, tetapi jika
tak ada yang bisa menerimaku… aku tak kan pernah mau memaksa. Biarlah
aku yang lebih banyak mengalah untuk mengerti dan memahami mereka, bukan
meminta dimengerti dan dipahami…
Satu hal penting lainnya… kubus-kubus itu tak pernah kuisi dengan
kedustaan peristiwa dan kedustaan pemikiran. Kubus-kubus itu hanyalah AKU. Aku yang sebenarnya…. Aku yang hanya diketahui oleh Tuhan dan jiwaku sendiri: MURNI.
Bandung, 19 September 2013, 2:35 WIB
*Selamat datang di bentengku, Rudy Febrianto
Thank you for being you.
Thank you for loving me just the way I am.
I love you with all my heart….
You are INDEED my angel…
==============================================================
[1] Eksistensi adalah yang dipersepsi; sebuah ungkapan dalam Bahasa
Latin, diungkapkan oleh George Berkeley, seorang filsuf dari Amerika
[2] Merk permainan rancang bangun untuk anak-anak
[3] Renee Descartes, seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Pahamnya yang terkenal adalah sum ergo cogito, cogito ergo sum; saya ada karena saya berpikir, saya berpikir karena saya ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar