Berawal dari mimpi yang sama,
bersama tiga saudaraku lainnya Yona, Kimul dan Cakra. Kami pun mendaki gunung
Geulis yang belum sempat kami gapai puncaknya. Diantara kami berempat hanya aku
dan Yona saja yang sudah mendaki ke gunung Geulis, tapi tidak berhasil ke
puncak.
Hari Sabtu ini kami sepakat untuk
mendaki. Setelah makan siang kami mempersiapkan segala kebutuhan. Konsumsi
tidak perlu terlalu banyak, cukup dengan empat bungkus mie instan saja dan kopi
yang dibawa dari vietnam oleh kang Lutfi beberapa waktu lalu. Sisanya kebutuhan
air dan alat navigasi.
Karena target kami ingin melihat
matahari terbenam dari puncak, kamu pun berangkat dari kampus jam tiga siang
dengan harapan maksimal jam lima sore sudah sampai puncak. Ah, belum juga
berangkat. Awan tebal menutupi langit Jatinangor dan angin beberapa kali
bertiup kuat. Curiga kami tak akan melihat matahari terbenam atau justru malah
kehujanan?
Walalupun cuaca seperti itu,
beruntung kami punya ambisi lebih besar lainnya ketimbang melihat matahari terbenam.
Yaitu sampai ke puncak! Jam tiga kami berangkat, naik angkuntan umum menuju
desa Jatiroke dari situ kami jalan kaki sampai ke titik start.
Tanpa kesepakatan aku pun
langsung tancap kaki dengan memimpin rombongan kecil ini. Aku begitu semangat
sekali (yang lain mungkin juga), setiap langkahku adalah sebuah keyakinan untuk
sampai ke puncak dan tidak boleh gagal lagi. Aku masih ingat betul kemana aku
harus memilih jalur yang tepat. Beruntung pula ada orang baik yang memberi
petunjuk arah untuk sampai ke puncak dengan membuat tanda panah di setiap
percabangan. Aku ucapkan terimakasih siapapun mereka.
Kami teratur untuk istirahat
sejenak, sekedar mengambil nafas, minum seteguk air. Kimul bilang kalau kami
selalu berhenti setiap sepuluh menit.
Setelah sekitar dua puluh menit
kami berjalan, akhirnya sampai juga kami di tempat dimana aku mengakhiri
pendakian ku beberapa bulan lalu. Itu berarti tidak jauh lagi kami akan sampai
ke puncak. Langit barat terlihat diselimuti kabut awan, hah, pupus sudah melihat
matahari terbenam dari puncak.
Tidak lama, kami langung
melanjutkan pendakian. Dari titik ini bisa dibilang, bahasa kerennya, summit attack hehe. Ternyata lumyan
curam jalurnya. Beberapa kali aku harus berhenti mengambil nafas, aku
persilahkan saja Kimul jalan lebih dulu. “Duluan
aja, Mul. Biar kamu jadi orang pertama diantarra kita berempat yang sampai
puncak hehe.”
Kurang lebih empat puluh lima
menit, terhitung dari titik start kami bisa mencapai puncak. Cepat juga ya?
Atau masih terlalu lambat? Yang pasti aku berhasil memenuhi hasrat ku (kami)
yang tertunda untuk sampai ke puncak Geulis! Dan rasa penasaranku dengan makam
yang ada di sana. Wah, bagiku sampai ke puncak ini itu rasanya hampir sama
dengan mencapai puncak gunung ketinggian 3000 ke atas haha!
Empat tahun lebih aku di kota
ini, tapi baru sekarang aku melihat halaman ‘rumah’ ku sendiri. Kamu?
Tidak lama kami di puncak,
setelah merayakannya dengan sebatang kretek kami langsung turun. Ternyata
puncak tidak sesuai harapan kami, dari sana kami sulit melihat pemandangan ke
kota terhalang rimbun ilalang dan perdu. Jadi, kami putuskan untuk melanjutkan
istirahat dan masak makan malam sedikit ke bawah dari puncak.
Sudah hampir maghrib, sambil memasak kita menyaksikan
lampu-lampu kota menyala satu persatu. Dan suara musik dari acara pentas seni
yang diadakan jurusan Statistika pun terdengar sampai atas sini. Sepertinya
lebih menyenangkan berada di sana dari pada diatas sini, batinku. Tapi
menyantap makan malam sambil bicara banyak hal dengan sudaraku itu adalah suatu
kebersamaan. Aku sangat menikmati bagian ini.
Sambil menunggu Kimul ibadah maghrib kami kembali merapikan alat
baawaan kami, tidak lupa sampahnya. Dan kami bersiap untuk turun untuk pulang.
Aku kembali take a lead, tapi mungkin
terlalu jauh jaraknya dengan sudaraku yang lain. Hampir saja mereka bertiga
nyasar, menuruni jalur sungai yang memang hampir mirip dengan sebuah jalur.
Tapi, syukur kita sampai dengan selamat kembali di kampus.
Lunas sudah hutangku! Untuk
penuhi janji pada diriku sendiri.